Erika Santoso, Owner ADA Swalayan

MENJADI pebisnis di usia belia bukanlah cita-cita Erika Santoso. Namun, keadaan telah memaksa wanita kelahiran Solo, 31 tahun silam ini untuk bisa menjadi nahkoda dalam menjalankan 7 cabang toko ADA Swalayan.

Erika mengakui, bisnis yang kini dilakoninya merupakan warisan dari kedua orang tuanya. Sebagai anak tunggal, tak pelak hanya dia lah yang digadang-gadang meneruskan usaha toko ritel tersebut. Apalagi, saat kedua orangtuanya telah tiada.

“Kalau cita-cita sih penginnya jadi model atau yang berkaitan dengan fashion, seperti punya butik,” ujar wanita lulusan jurusan Accounting, di salah satu universitas di Melbourne, Australia itu.

Meski sempat kaget saat terjun ke bisnis ritel, namun perlahan mulai dinikmatinya. Apalagi, bisnis tersebut juga tak jauh dari hobinya yang suka melancong dan berbelanja.

“Lewat bisnis ini, ternyata saya juga bisa melampiaskan hobi. Terutama saat harus berbelanja atau kulakan,” tuturnya.

Tak tanggung-tanggung, untuk kulakan kebutuhan fashion, Erika harus berburu hingga ke China. Bahkan, setidaknya 3 kali dalam setahun Erika mondar mandir ke China hanya untuk mendapatkan pakaian, tas, sepatu, sandal dan aksesoris dengan harga terjangkau dan mengikuti trend masa kini.

“Sudah jadi agenda rutin, dan meneruskan tradisi orang tua. Untuk kulakan barang-barang fashion saya biasa turun sendiri sampai ke China. Jadi bisa pilih sendiri barang-barang yang bagus, up to date, dan tentu akan laku dijual di toko ADA Swalayan,” jelasnya.

Dengan sistem beli putus, Erika pun biasa berbelanja di Pasar Tanah Abang untuk melengkapi kebutuhan toko-toko yang dikelolanya. Soal kulakan dan tawar menawar harga pun kini sudah mahir dilakoninya seiring pengalaman dan pembelajaran dari almarhum orang tuanya.

“Dari kecil saya biasa diajak papa mama. Biasanya saat liburan sekolah ikut kulakan, entah itu di Tanah Abang atau ke China. Jadi ya sudah tidak canggung lagi saat harus turun langsung kulakan, sekalian menyalurkan hobi belanja,” selorohnya.

Erika pun berkisah, toko ADA Swalayan yang dikelolanya kini memiliki 7 cabang, yakni di Siliwangi (Semarang), Majapahit (Semarang), Setiabudi (Semarang), Fatmawati (Semarang), Bogor, Kudus, dan Pati.

“Sebelum ada brand ADA Swalayan, orang tua saya berjualan kain di Peterongan, Semarang. Lantas, berusaha melebarkan sayap dengan bisnis kelontong, hingga akhirnya berdirilah ADA Swalayan di tahun 1987, dengan toko pertama di Jalan Siliwangi Semarang,” terangnya.

Istri dari Ricky Sulistyo ini menambahkan, saat berdirinya ADA Swalayan untuk pertama kalinya, putri tunggal pasangan Gunawan Santoso dan Goei Ngiek Hwa ini kerap diajak untuk berbelanja untuk kebutuhan toko. Kala itu, Erika kecil tinggal bersama orang tuanya di toko ADASwalayan Jalan Siliwangi yang sekaligus merupakan tempat tinggal keluarga Gunawan Santoso.

“Rumah kami ya di toko itu. Masih sangat sempit, dengan bangunan 2 lantai saja,” imbuhnya.

Berkembang di tengah krisis

Dalam perkembangannya, lanjut Erika, di tahun 1997, ADA Swalayan memperluas pasar dengan membuka cabang baru di Jalan Majapahit Semarang. Hingga akhirnya pada tahun 1998, terjadilah krisis moneter.

“Jika saat krisis moneter itu banyak usaha yang gulung tikar, tidaklah berlaku bagi ADA Swalayan. Kala itu, bisnis ritel yang dikelola orang tua saya justru makin moncer,” cetus Erika, yang saat krisis moneter terjadi, dia telah duduk di bangku SMP.

Bagi sang papa, almarhum Gunawan Santoso, momentum 1998  itu justru menjadi peluang bisnis untuk berkembang. Apalagi, banyak usaha yang tidak mampu bertahan dihantam krisis moneter.

“Beberapa tahun sebelum krisis, almarhum papa punya prediksi ekonomi Indonesia bakal susah, tapi beliau  justru melihat peluang, dan papa melakukan lobi dengan para suplier untuk order barang hingga 10 kali lipat lebih banyak. Dari over suplai itu, masyarakat tak kesulitan mencari barang. Bahkan, toko-toko ritel dari luar kota Semarang, banyak yang ambil barang di ADA Swalayan,” bebernya.

Dari ketangguhannya menerjang krisis moneter, ADA Swalayan kembali membuka cabang yang lebih besar lagi di Jalan Setiabudi, Semarang. Toko yang didirikan di tahun 2000 dengan bangunan seluas 1,6 hektar tersebut, kini bahkan menjadi yang terluas dan terbesar dari seluruh cabang ADA Swalayan. Kantor pusat atau managemen pun di boyong di lokasi ini.
“ADA Swalayan Setiabudi lebih besar lagi sehingga head office pindah ke sini,” katanya, saat ditemui di ruang kerjanya yang indah, dihiasi benda seni dan galeri foto keluarga.

Seiring berkembangnya bisnis ritel, ADA Swalayan pun berkeinginan untuk keluar dari Semarang, dengan mengembangkan bisnis serupa di Bogor, tahun 2004. Pertimbangan memilih Kota Bogor untuk cabang ke-4 ini sebagai upaya agar lebih dikenal suplier, lantaran sudah berani keluar dari sangkarnya di Semarang.

“Kalau di bisnis ritel seperti ini, jika sudah berani keluar dari area bisnis utamanya, maka akan semakin dilirik oleh suplier. Itu jadi nilai tambah juga untuk ADA Swalayan, sehingga makin mudah lagi dalam mendapatkan pasokan barang dagangan,” tukas wanita cantik yang memiliki moto hidup ‘Selama kita berbuat baik kepada semua orang pasti akan ada orang berbuat baik ke kita. Be happy. Berusaha menyenangkan diri sendiri dan orang lain’.

Sebelumnya, di tahun 2003, duka pun sempat menyelimuti perjalanan hidup dari Erika, dimana ibundanya pergi untuk selama-selamanya. Meski begitu, moment tersebut tak sempat membuatnya goyah, karena ayahnya, sang nahkoda bisnis, masih mendampinginya. Erika pun tetap berusaha tangguh untuk kembali berjuang.

“Tahun 2005, dilakukan renovasi ADA Swalayan Siliwangi, sekaligus membuka cabang baru ADA Swalayan Fatmawati Semarang di tahun 2006, yang dilakukan untuk mengakomodir konsumen yang mulai berdesak-desakan saat belanja di ADA Swalayan Majapahit,” ungkapnya.

Kelola Tujuh Cabang ADA Swalayan

Saat berkembangnya bisnis, ibu dari Riecheer Santoso (2) ini mengaku masih bersekolah di Australia, dan dilanjutnya sekolah bahasa di China. Baru pada tahun 2007, Erika kembali ke Semarang dan mulai dilibatkan penuh dalam mengelola bisnis.

“Tahun 2007 saya dimagangkan pertama kalinya di bagian pembelian dan order. Saya hanya duduk memperhatikan para suplier, dan sambil melajar managemen. Jadi, memang tidak instan untuk memegang perusahaan ini. Saya tetap harus belajar dari nol,” ungkapnya.

Selanjutnya, momentum titik balik terjadi di tahun 2008, dengan kembalinya nahkoda bisnis ke pangkuanNya. Padahal, saat itu ADA Swalayan tengah mengembangkan sayapnya di Kudus.

“Meski sempat terpuruk, tapi pada akhirnya semua berjalan baik-baik saja, hingga akhirnya bertemu suami di tahun 2011 dan kembali membuka cabang baru di Pati pada tahun 2012,” ujarnya.

Dari perjalanan bisnis ADA Swalayan sejak 28 tahun silam, kini ada 7 cabang yang dikelola oleh Erika. Bahkan, dari semula jumlah karyawan ADA Swalayan hanya sekitar 50 orang, kini sudah mencapai lebih dari 2.000 orang karyawan.

“Karyawan adalah partner, aset yang tak ternilai. Karena tanpa karyawan kita juga tidak berarti apa-apa. Dan saya bersyukur, meski papa sudah tidak ada, banyak karyawan yang masih tetap loyal bekerja hingga saat ini,” tegasnya.

Disinggung perihal nama ADA, Erika menuturkan, nama yang digagas oleh ayahnya tersebut merupakan singkatan “Ada Dihati Anda”. Dari nama tersebut, ADA Swalayan pun tetap berambisi untuk terus mengembangkan sayap bisnisnya melalui cabang-cabang baru.

“Ekspansi pasar akan terus kami lakukan. Saat ini kita masih survei beberapa lokasi untuk membuka cabang baru lagi, khususnya di Jawa Tengah” ujarnya.

Survei lapangan, imbuhnya, perlu dilakukan sendiri. Pasalnya, harus melihat lokasinya secara langsung dan demografi wilayah, termasuk pendapatan daerah.

“Untuk soal pengembangan bisnis, inovasi dan strategi marketing saya percayakan ke suami saya,” ucap Erika yang kini menjabat Komisaris Utama di ADA Swalayan.

Sementara, untuk menyiasati pertumbuhan toko swalayan ritel baru yang terus bermunculan, ADA Swalayan tetap menggunakan strategi harga yang lebih rendah. Terlebih di Kota Semarang, masyarakatnya sangat sensitif harga.

“ADA Swalayan tetap pada komitmennya membidik segmen menengah, dengan banyak fasilitas dan kemudahan yang diberikan kepada konsumen, seperti adanya sistem member, dan lain-lain,” pungkasnya.(*)

Bangkit dari Keterpurukan

KEHILANGAN orang yang sangat dikasihi dalam keluarga tentu menjadikan kita sangat terpuruk. Itu pula yang sempat dialami oleh Erika Santoso (31), sepeninggal ayahnya, Gunawan Santoso pada tahun 2008.

Setelah ibundanya pada tahun 2003, disusul kepergian sang ayah, bagi Erika menjadi cobaan terberat dalam hidupnya. Apalagi, dia merupakan anak tunggal.

“Saat itu saya sempat bingung. Hidup seorang diri, tanpa orang tua dan harus meneruskan bisnis yang menghidupi ribuan orang,” katanya.

Di usia yang baru menginjak 24 tahun, kala itu, Erika harus menjadi nakoda bisnis yang telah susah payah dirintis oleh orang tuanya. Pada mulanya, Erika mengaku terasa amat berat lantaran harus menghadapi berbagai ujian dan tantangan.

“Saat papa meninggal, kebetulan kami baru ekspansi bisnis dengan membuka cabang ADA Swalayan di Kota Kudus pada Agustus 2008. Berbagai cobaan datang silih berganti dan harus saya hadapi seorang diri,” ujarnya.

Namun begitu, situasi dan tantangan membawa Erika menjadi makin dewasa. Satu per satu permasalahan berusaha di atasinya. hanya dengan berbekal doa dan kerja keras. Jiwa itu pula yang selalu ditanamkan oleh orang tuanya semasa masih hidup dan menjadi awal kebangkitannya dari keterpurukan.

“Pesan orang tua dulu harus bangun pagi untuk cari rejeki, banyak berdoa dan berbuat amal baik ke sesama,” jelasnya.

Tak hanya itu, peran suami yang dikenal pertama kalinya pada tahun 2010 makin menambah semangat Erika dalam menjalankan bisnisnya. Apalagi,  Ricky Sulistyo, suami yang dinikahinya pada tahun 2011 itu, kini sudah ikut terjun langsung menjalankan bisnis ADA Swalayan.

“Pertama kenal suami lewat BBM, yang dikenalkan saudara di tahun 2010. Dari perkenalan itu, dua bulan kemudian bertemu dan memutuskan menikah di tahun 2011, di Kota Solo,” paparnya.

Bagi Erika, sosok suami yang dikenalnya sebagai putra pengusaha buku tulis di Solo ini tak hanya berperan sebagai kepala rumah tangga saja, melainkan juga mampu menjadi partner dalam bisnisnya. Bahkan, sejak suami ikut serta menjalankan bisnisnya di tahun 2013, telah banyak inovasi yang mereka lakukan.

“Peran suami dalam bisnis ini lebih ke arah pengembangan bisnis dan strategi marketing. Apalagi basic pendidikan suami di bidang marketing di Sidney, Australia,” tuturnya.

Sementara, kehadiran sang buah hati, Riecher Santoso (2 th), kini semakin menambah warna hidupnya. Tak pelak jika kini dalam menjalankan bisnis, Erika merasa makin bergairah.(*)

dikutip dari www.jpnn.com