Trisno Yuwono: TKI yang Jadi Pengusaha Minimarket. Peraih International Migrant Worker’s Award (IMWA)

Sekilas wajah Trisno Yuwono yang bundar, dagu dipenuhi jenggot tipis, berbadan tegap, dan raut wajah sedikit khas Timur Tengah mirip dengan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Abraham Samad. Gaya bicaranya pun terdengar mantap.

Didampingi sang istri, Eva Karisma Dewi, Trisno  menerima penghargaan International Migrant Worker’s Award (IMWA) 2011 dan uang tunai Rp 5 juta pada 27 Desember lalu. Penghargaan yang dipelopori UKM Center Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI) itu diberikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar.

Penghargaan yang diterima pria kelahiran Blitar, 12 Agustus 1970 dan bapak tiga anak itu berawal dari kerja kerasnya menjadi TKI di Arab Saudi dalam rentang waktu 1991 hingga 2000. Dalam kurun waktu itu, Trisno tidak terhitung bolak-balik Indonesia-Arab Saudi.

Hal yang membuat para dewan juri kepincut terhadap sosok Trisno adalah keuletannya merintis bisnis dari hasil bekerja menjadi TKI di Arab Saudi. Kini dia memiliki tujuh unit swalayan atau minimarket. Tujuh toko swalayan itu tersebar di Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur.

Toko swalayan milik Trisno yang diberi nama Sari-Sari itu menjadi saingan minimarket-minimarket populer lainnya. “Tantangannya lebih besar membuat swalayan sendiri daripada ikut jaringan minimarket waralaba,” tandasnya. Alasan lain, Trisno bukan tipe orang yang mudah diatur. Saat ini omzet dari tujuh unit swalayan tersebut mencapai Rp 35 miliar per tahun.

Jalan hidup Trisno hingga sukses menjadi bos toko swalayan itu dimulai ketika dia menyatakan keluar dari bangku kuliah. Saat itu dia belum genap satu semester menuntut ilmu di STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Blitar, Jawa Timur.

Alasan dia putus kuliah ada dua. Pertama, kondisi keuangan keluarga sangat pas-pasan.“Daripada nanti putus di tengah jalan, lebih baik putus di awal,” ceritanya.

Alasan kedua lebih mengejutkan. Dia memutuskan keluar dari STKIP Blitar karena jika lulus nanti paling hanya bisa menjadi guru. Saat itu alumnus SMKN (dulu STMN) Blitar ini mengatakan, rata-rata guru di kampungnya hidup sederhana. Sebab, gaji menjadi guru waktu itu jauh dari layak.

Setelah keluar dari kampus, Trisno sempat bingung mau berbuat apa. Dia akhirnya bertekad menjadi TKI ke luar negeri. Namun, ada sedikit kendala. Dia tidak memiliki modal untuk berangkat. Akhirnya, Trisno menjual sepeda motornya seharga Rp 1,5 juta. Dengan uang itu, dia mendaftar menjadi TKI melalui biro jasa penyalur tenaga kerja ke luar negeri.

Tahun 1991 merupakan awal kiprah Trisno menjadi TKI. Dengan berbekal ijazah STM, di Arab Saudi Trisno bekerja sebagai sopir di rumah seorang wakil amir atau di Indonesia seperti wakil gubernur. Awal-awal bekerja sebagai sopir, Trisno mendapatkan gaji 800 riyal atau sekitar Rp 1,9 juta (1 riyal = Rp 2.421). “Saya merasakan saat itu gaji yang saya terima sudah cukup besar,”tutur Trisno.

Dia mengaku semakin berbangga hati dan berjanji lebih giat bekerja. Bukan bermaksud pamer, seluruh gaji pertamanya dia kirim ke orang tuanya di kampung.

Meski bergaji cukup tinggi, belum satu tahun Trisno sudah tidak betah bekerja di rumah majikannya. “Saya merasa tidak ada kecocokan saja,” ucapnya tanpa merinci bentuk ketidakcocokan itu.

Setelah mengumpulkan keberanian, Trisno meminta majikannya berkenan memulangkannya ke tanah air. Namun, permintaan Trisno ditolak. Sang majikan memberikan kebebasan jika Trisno ingin keluar.

Namun, dia harus membeli tiket pesawat sendiri. Dengan sikap majikan seperti itu, akhirnya Trisno keluar. Tetapi, karena uang tabungan belum banyak, dan sayang jika digunakan untuk membeli tiket pesawat Saudi-Indonesia, dia tidak jadi pulang. Trisno lebih memilih pindah pekerjaan dari sopir menjadi penjaga toko keramik impor.

Keputusan Trisno pindah kerja menjadi penjaga toko itu berbuah manis. Trisno menerima gaji 1.350 riyal per bulan. Dengan peningkatan gaji ini, Trisno semakin rajin menabung. Memasuki 1993 Trisno pulang, kemudian mempersunting Eva, yang tidak lain pujaan hatinya ketika duduk di bangku SMKN Blitar.

Sejak 1993 hingga 2000, Trisno mengaku sering bolak-balik Indonesia-Saudi. Dia juga mengaku sempat memboyong keluarganya tinggal di Saudi. Pada suatu malam, ketika tertidur di ruko keramik milik majikannya, Trisno bermimpi. “Saya mimpi menjadi pemilik toko seperti majikan saya,” kenang Trisno.

Ketika terjaga, dia langsung yakin bahwa mimpi tadi adalah ilham yang diberikan Allah. Dia juga yakin bahwa mimpi tadi adalah jalan Allah untuk mengubah nasibnya dari TKI menjadi pemilik toko. Akhirnya, berbekal tabungannya, pada 1998 Trisno membeli sebidang tanah di Kademangan, Blitar, Jawa Timur. Setahun kemudian, di atas sebidang tanah itu Trisno membangun fondasi toko berukuran 8 x 14 meter.

Pada 2000 Trisno pulang dan bertekad mengakhiri pekerjaannya sebagai TKI. Bermodal uang sisa tabungan sekitar Rp 50 juta, Trisno mendirikan sebuah toko swalayan. Toko pertamanya diresmikan pada Juni 2000.

Awal-awal membuka toko swalayan, Trisno dan Eva bekerja bahu-membahu. Trisno menugasi istrinya menjadi semacam “agen intelijen”. Tugasnya menggali informasi tentang harga-harga barang kebutuhan pokok serta barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, sikat gigi, dan sampo di beberapa pasar tradisional. Data yang dikumpulkan Eva dijadikan acuan bagi Trisno untuk menentukan harga jual barang di tokonya.

Tugas lain yang diemban Eva adalah mencari dan merangkul sales atau pemasok barang kebutuhan sehari-hari. Trisno mengatakan, pada awal membuka toko swalayan tanpa menggandeng jaringan waralaba dirinya cukup sulit mendapatkan kepercayaan dari pemasok.

Namun, berbekal keuletan dan trik meyakinkan orang, beberapa pemasok bersedia menaruh barangnya di swalayan Sari-Sari milik Trisno. Pada hari perdana, Trisno mengatakan omzet tokonya mencapai Rp 2 juta. Apakah itu sudah cukup besar? “Saya saat itu menargetkan omzet Rp 1 juta pada hari pertama,” jawabnya agak diplomatis.

Tantangan berikutnya, muncul persaingan dengan merek waralaba minimarket atau toko swalayan lain. Namun, menurut Trisno, yang terjadi saat itu bukan persaingan. Sebaliknya, berkembangnya minimarket waralaba malah membuat omzet penjualan Trisno terkatrol naik.

Setelah satu unit toko swalayannya bisa berdiri kuat, Trisno mulai berekspansi dengan membuka toko swalayan baru. Unit swalayan kedua itu diresmikan sekitar satu setengah sampai dua tahun setelah peresmian toko swalayan pertama. Begitu seterusnya hingga kini dia memiliki tujuh toko swalayan. “Toko swalayan ketujuh saya resmikan Juli 2010 lalu,” jelasnya.

Dengan semakin berkembangnya usaha toko swalayan tersebut, Trisno sudah tidak lagi merengek-rengek kepada pemasok untuk bersedia menitipkan barangnya. Sebaliknya, sekarang sejumlah pemasok malah merengek-rengek ke Trisno supaya mau menerima barang mereka.“Saya sekarang benar-benar menyeleksi pemasok yang menawarkan barang,” ucap Trisno.

Dia mengatakan, seleksi ketat itu untuk menjaga kualitas barang yang akan dijual. Dia juga menyimpan rahasia lain yang tidak boleh dikorankan, sehingga tetap hidup di tengah gempuran minimarket lain.

Selain itu, dengan tujuh unit swalayan, Trisno saat ini mempekerjakan 50 orang. Trisno cukup sportif dengan memberikan gaji kepada karyawan sesuai UMR (upah minimum regional) di setiap daerah. Beberapa orang yang sudah lama bekerja dan menjadi pegawai kepercayaan digaji Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per bulan.

Dengan capaian tersebut, Trisno sangat senang jika akhirnya bisa menulari kawan-kawan yang kini masih menjadi TKI atau sudah berstatus purna TKI. Dia berpesan, alangkah bijaksana jika uang hasil bekerja sebagai TKI dijadikan modal usaha sehingga bisa mandiri. Selama ini dia masih sering mendengar gaji para TKI habis untuk membayar utang.

Sumber: jpnn.com