Tindakan double swipe atau penggesekan ganda kartu kredit atau kartu debit di mesin kasir bisa merekam data nasabah di komputer kasir. Pakar keamanan siber dan kriptografi Pratama Persadha mengatakan, tindakan ini berisiko, karena data nasabah bisa disalahgunakan.
“Pengamanan kartu debit dan kartu kredit di Tanah Air masih lemah, sehingga sangat mudah sekali digandakan datanya. Jadi bila kartu kita digesek di card reader komputer kasir, sebenarnya mereka juga membaca sekaligus meng-copy data kartu kita,” kata Pratama.
Kalau data sudah di-copy, lanjut Pratama, bisa dipakai untuk apa saja. Data itu bahkan bisa di-copy ke kartu kosong. Hasil penggandaan kartu kredit bahkan langsung bisa dipakai, sedangkan kartu debit harus tahu PIN terlebih dahulu.
“Maka dari itu, PIN harus benar-benar kita jaga,” tegas pria yang juga dikenal sebagai Chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Pratama menjelaskan, perlu digencarkan edukasi kepada para nasabah, terkait keutamaan mengamankan data di kartu debit dan kartu kredit. Menurutnya, ini menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan perbankan, agar data pribadi masyarakat tidak mudah diambil dan disalahgunakan.
“Ini hanya satu dari sekian banyak cara-cara mengumpulkan data pribadi masyarakat, yang penggunaan selanjutnya sangat sulit dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Ia memaparkan, beberapa waktu lalu Bareskrim Mabes Polri menangkap penjual data nasabah di Bogor yang memiliki hampir dua juta data dan dijual di internet.
“Ini adalah fenomena gunung es, saya yakin masih banyak yang melakukan hal serupa. Data ini terkumpul dari banyak cara, mungkin salah satunya juga dari menggesek kartu nasabah di komputer kasir,” ungkap mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Aturan Masih Tumpang Tindih
Pratama mengimbau, data pribadi mutlak harus dilindungi. Namun, secara aturan perundangan hingga kini masih tumpang tindih. Belum ada kesepakatan aturan yang menjadi payung tentang definisi data pribadi.
Akibatnya, kata Pratama, penindakannya menjadi parsial. Berkaca pada kasus di Bogor, penyidik mengenakan pasal tentang perbankan merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU ITE. Kedua UU tersebut tidak secara khusus mengatur tentang perlindungan data pribadi.
“Keberadaan UU Perlindungan Data Pribadi harus didorong sebagai aturan yang memayungi semua jenis data pengguna. Apalagi di era maraknya aplikasi, uang digital dan e-Commerce, kebutuhan perlindungan data pribadi sudah cukup mendesak, karena data masyarakat ini terus diambil dan dieksploitasi sangat jauh,” ujarnya.
Langkah penguatan keamanan elektronik juga menuntut perbaikan manajemen pengamanan informasi. Harus ada standardisasi perlindungan data pribadi. Standar ini mengatur hak dan kewajiban baik konsumen maupun penyedia layanan elektronik.
“Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bisa menjadi badan yang mengeluarkan standar perlindungan terhadap data pribadi. Misalnya bagi perbankan dan institusi vital nasional harus menerapkan standar pengamanan data pribadi dengan variabel tertentu,” pungkas Pratama.
Sumber : http://tekno.liputan6.com/