Noor Liesnani, Owner Pamela Swalayan

Bukan hal yang gampang menuju sukses, perlu perjuangan keras dan kesungguhan. Begitupun yang dialami oleh Noor Liesnani Pamella. Diusianya yang masih muda ia harus merelakan waktunya untuk berjuang membiayai ibu dan adik-adiknya. Sepeninggal ayahnya ia harus ikut membantu ibunya mencari nafkah. Anak sulung dari empat bersaudara ini memang memiliki rasa tanggung jawab ke keluarga yang tinggi bahkan ia rela meninggalkan bangku sekolah.

Namun jalan itulah yang mengantarnya pada sukses besarnya. Berkat kerja keras dan kehidupan agamis, itulah yang dipegang dalam mengarungi kehidupan usahanya. Siapa sangka usaha yang dirintis di tahun 1975 di sebuah bangunan dengan ukurann 5×5 meter, kini menjadi jaringan mini market yang tersebar di seluruh Yogyakarta.

Darah Pedagang

Noor Liesnani Pamella memang dilahirkan dari keluarga pedagang pada tanggal 13 September 1955 di Yogyakarta. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Hadisunaryo (alm) dan Hj Marlin yang tinggal di sebuah keluarga besar. Sejak kecil ia terbiasa melihat bagaimana orang tuanya berbisnis. Dalam satu rumah dihuni oleh tiga kepala keluarga dimana masing-masing keluarga mengelola bisnis skala menengah. Variasi usaha yang dikembangkannya antara lain batik, tenun, warung makan, perhiasan imitasi, agen bedak dan toko perlengkapan pramuka.

Pada saat umur Pamella 7 tahun, keluarganya memilih untuk pindah ke rumah baru memisahkan diri dari keluarga besar tersebut. Rumah itu hasil dari menabung selama ini. Saat itu usaha batik dan tenun mengalami penurunan karena banyak yang sudah menggunakan rok. Akhirnya keluargaPamella mengalihkan usaha ke peternakan, penjualan ikan segar, penjualan tanaman hias dan buah-buahan serta penggilingan padi.

Saat itu hampir semua usaha ayahnya menggunakan dana pinjaman dari bank.

Semua usaha ayahnya semakin lama semakin berkembang hingga ketika pada tahun 1970 sang ayah sakit dan akhirnya meninggal. Usaha yang selama ini dirintisnya akhirnya hancur berantakan dan ia bersama ibunya harus berjuang melunasi hutang ayahnya yang sangat berat. Saat itu usianya 15 tahun. Dalam hatinya ia berjanji jika suatu hari memulai usaha tidak mau lagi berurusan dengan bank.

Sejak saat itu Pamella dan ibunya berjuang keras memenuhi kebutuhan keluarga untuk menghidupi ke tiga adiknya yang masih TK dan SD. Bahkan saking terdesaknya keluarganya sampai pernah menerima zakat fitrah. Dalam hati ia berdoa agar kelak ia bisa berzakat bukannya dizakati. Usaha yang pertama kali dilakukannya yaitu mengambil konveksi yang sudah berupa potongan pada sebuah perusahaan konveksi. Kemudian dirumah dijahit sang ibu lalu esok harinya disetor kembali ke perusahaan tersebut. Begitu seterusnya, hari-hari yang dilalui Pamella sepulang sekolah.

Ia bersyukur karena orang tuanya masih memiliki sawah sekitar 400 m.Pamella berfikir untuk menjual dan menjadi modal usaha. Dengan izin Alloh ia optimis usahanya akan sukses dan dapat digunakan untuk melunasi hutang ayahnya di bank. Lalu Pamella dan ibunya membuka toko kelontong “FLORA” dengan ukuran toko 5×6.

Sepulang sekolah ia harus kulakan barang yang persediaannya menipis dengan menggunakan sepeda jengki, ia tak ingin mengecewakan pelanggannya. Semua kebutuhan pelanggannya harus terpenuhi. Pemberian label juga menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan ibunya bertugas menunggu dan melayani pembeli saja.

Putus Sekolah Demi Usaha

Selang berjalannya waktu, toko Pamella semakin ramai dan ia semakin sibuk mengurusi tokonya. Sedangkan waktu untuk belajar sering ia abaikan, bukannya ia malas namunia tak tega jika harus melihat ibunya bekerja sendirian. Sering ia tak mengerjakan PR dan ketakutan saat bertemu gurunya. Hal ini membuatnya tertekan dan akhirnya sakit. Ia kemudian dibawa ke psikiater, menurut psikiater ia harus memilih sekolah atau toko.

Pamella akhirnya shalat istikharak dan pilihan jatuh ke toko.

Saat itu sebenarnya ujian akhir mau berjalan namun apa dikata toh Pamella sudah lama tak mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan baik sehingga jika ia memilih sekolah mungkin ia juga tidak akan dapat memperoleh nilai yang bagus. Saat itu ia benar-benar bulat memilih toko. Fokusnya Pamella dalam mengelola toko membuat tokonya semakin berkembang menjadi 5×15, barang dagangannya juga semakin lengkap.

Pada 5 Juli 1975 Pamella menikah dengan seorang guru honorer di STM Muhammadiyah yang bernama Sunardi yang memang rumahnya dekat dengan warung Pamella. Keduanya memiliki visi yang sama yaitu senang berbisnis. Setelah menikah, Pamella kemudian membuak toko sendiri di sebelah toko FLORA milik ibunya. Barang yang dijual mengikuti musim. Jika musim liburan ia akan menjual layang-layang, jika musim sekolah ia akan menjual buku bekas, sepatu dan baju seragam serta alat sekolah dan jika musim lebaran ia akan menjual kue kaleng, sirup, baju yang kerjasama dengan temannya dan aneka kebutuhan lebaran.

Semenjak pertama kali membuak usaha, Pamella meniatkan usaha ini untuk ibadah, sehingga ia tidak pernah absen dari zakat, qurban dan menabung untuk haji. Seiring waktu, usahanya semakin bertambah maju. Pada tahun 1979 Pamella dan suami sudah bisa pergi haji. Hal itu tak lepas dari usaha, keuletan serta kebiasaannya menabug yang tentunya disertai dengan doa.

Saat berangkat haji, tokonya tetap buka dijaga oleh bapak mertuanya dan saat pulang, Pamella melihat bahwa tokonya semakin laris dan uangnya juga semakin penuh. Akhirnya ia meluaskan tokonya menjadi swalayan. Sebelumnya tokonya hanya didominasi roda dua, setelah dirombak menjadi swalayan, pelanggannya yang bermobil juga bisa mampir ke tokonya tanpa takut sesak.

Pamella semakin sukses dengan toko kelontongnya. Ia kemudian membuka cabang hingga 7 cabang yang kesemuanya tersebar di Yogyakarta. Selain itu ia juga membuka bisnis salon muslimah yang perkembangannya cukup signifikan. Bahkan suaminya juga membuka usaha bimbingan ibadah haji.

Rajin Menabung

Sejak awal Pamella memang meniatkan bisnisnya untuk ibadah sehingga setiap ia mendapat omset misal omsetnya 1000, ia berasumsi untungnya 10% yaitu 100. Dari 100 ia sisihkan 5 rupiah dan dimasukkan ke kaleng. Setelah satu tahun, uang yang di kaleng tersebut ia gunakan untuk qurban saat idul adha dan berzakat. Ia juga memilih untuk segera berhaji karena toh ia sudah punya rumah warisan mertua dan toko yang diberi ibunya.

Tetap Berkibar Tanpa Kredit Bank

Janji Pamella untuk tidak menggunakankredit bank konvensional dipenuhinya. Bisnisnya tetap berjaya dan semakin berjaya walau telah ditimpa krismon sampai 3 kali yaitu tahun 1978, 1987 dan 1997. Padahal opengusaha lain banyak yang gulung tikar karena tercekik bunga bank yang melambung sampai 60%. Sehingga sampai saat ini usaha yang dijalankan Pamella adalah dari investasi ulang keuntungannya dan tanpa ada kredit bank konvensional sedikit pun.

Tidak menjual Rokok

Sejak tahun 2003 Pamella Swalayan sudah berhenti menjual rokok. Meskipun omzet rokok mencapai 2% dari total omzet namun itu sudah menjadi tekad dari pemilik untuk ikut menjalankan kebaikan.