STRATEGI BISNIS DI TENGAH PANDEMI : Alfamart vs Indomaret, Mana Lebih Inovatif?

Pandemi Covid-19 yang menggerus daya beli masyarakat tak secara otomatis menahan pengembangan bisnis ritel minimarket. Di Indonesia, dua ‘lebah’ toko kelontong modern masih mencoba melebarkan sayap.

Dua ‘lebah’ itu tak lain dan tak bukan adalah Alfamart dan Indomaret. Kerap memperlihatkan aura kompetisi dengan lokasi gerai yang berdekatan, persaingan keduanya tetap terasa panas, bahkan ketika proyeksi ekonomi menunjukkan kondisi sebaliknya.

Di atas kertas, Indomaret tercatat lebih moncer. Sampai Januari 2020, PT Indomarco Prismatama telah memiliki 17.681 gerai.

Di lain pihak jumlah toko Alfamart ‘hanya’ mencapai 14.310 unit pada akhir tahun lalu dengan target yang dibidik di angka 15.310 unit pada 2020 atau bertambah 1.000 unit. Jumlah itu masih di bawah gerai kompetitornya.

Capaian penjualan sepanjang 2019 pun menunjukkan keunggulan Indomaret. Bisnis yang dimiliki Salim Group itu membukukan nilai penjualan mencapai Rp80 triliun. Di sisi lain, penjualan Alfamart tahun lalu senilai Rp72,94 triliun.

Meski masih tertinggal di atas kertas, inovasi yang diluncurkan Alfamart selama pandemi tak bisa dipandang sebelah mata. Perusahaan tersebut tampak progresif dengan konsep kolaborasi minimarket dan coworking space bernama Alfa X yang hadir baru-baru ini.

Toko Alfa X hadir menyediakan coworking, hiburan, dan lokasi untuk sekadar kongko. Saat ini, Alfa X tersebar di tiga kawasan kampus di Jakarta, yakni Universitas Tarumanagara, Universitas Bina Nusantara, dan Universitas Indonesia.

Saat ditanya tentang rencana pengembangan bisnis terbaru ini, Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (AMRT) Anggara Hans Prawira mengaku bahwa Alfa X sejatinya masih dalam tahap eksplorasi. Melihat usia bisnis yang masih seumur jagung, Anggara menyatakan pihaknya belum melakukan evaluasi untuk menentukan selanjutnya dari lini bisnis ini.

“Terlalu dini untuk memperkirakan animo karena baru beroperasi. Selain itu, kondisi pandemi dapat dipakai sebagai paramter untuk melihat respons konsumen sekaligus mengevaluasi bisnis modelnya,” katanya, Selasa (30/6).

Komentar bos Alfamart itu memang wajar. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengonfirmasi bahwa pandemi Covid-19 telah mengubah pola pengeluaran masyarakat.

Berdasarkan Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dihimpun Badan Pusat Statistik, pembelian bahan makanan memiliki porsi sebesar 51% dari total pengeluaran.

Pengeluaran terbesar kedua dialokasikan untuk kesehatan sebesar 20%, disusul pengeluaran untuk pulsa dan paket data sebesar 14%. Untuk makanan jadi, alokasi pengeluaran hanya 8%.

Staf Ahli Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Yongky Susilo mengemukakan, eksplorasi yang dilakukan Alfamart merupakan aksi yang lumrah dalam pengembangan bisnis. Apakah konsep bisnis tersebut dapat berkembang, masih bergantung pada daya beli masyarakat.

“Untuk format baru memang harus pelan-pelan pengembangannya. Mungkin 3 bulan setelah PSBB [pembatasan sosial berskala besar] dapat dilihat bagaimana respons konsumen karena semua kembali pada daya beli,” tuturnya.

Yongky menjelaskan, konsep kolaborasi minimarket dan coworking space merupakan salah satu upaya bagi bisnis ritel dalam melihat segmen pasar yang khusus. Target dan cakupan produk yang ditawarkan pun sejatinya telah terlihat bakal ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu.

Menurutnya, siasat ini telah dilancarkan pula oleh Indomaret lewat kehadiran label privat mereka, Point Coffee. Kehadiran kafe tersebut secara khusus ditujukan pada konsumen yang berada di sejumlah kota besar.

“Dulu memang minimarket hanya untuk belanja. Namun, dengan inovasi yang tepat untuk kelompok masyarakat kota dengan gaya hidup convenient, mereka bisa mendapatkan makanan dan minuman siap saji dan bersantai pula,” kata Yongky.

INOVASI PRODUK

Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama Wiwiek Yusuf membenarkan bahwa Point Coffee menjadi salah satu produk yang terus dikembangkan selama pandemi, begitu pula beragam produk makanan siap saji di bawah label privat Yummy Choice.

“Kita semua tahu di tengah pandemi masyarakat membutuhkan layanan-layanan yang lebih praktis, cepat, bersih, sehat dan terjangkau. Kami berharap pelanggan dapat dilayani dengan standar new normal.”

Selain pengembangan berorientasi produk, dia pun menjelaskan serangkaian pengembangan berbasis pelayanan. Dia menjelaskan bahwa perusahaan tengah giat mengembangkan layanan drive thru yang dirintis sejak September tahun lalu.

“Antusiasme pelanggan khususnya profesional muda dan mahasiswa sangat besar. Pada awal tahun kala pandemi Covid-19 merebak, rasanya sangat tepat dengan mulai berlakunya PSBB,” katanya.

Kini, unit terbaru yang menyediakan layanan drive thru telah hadir di Surabaya. Dia optimistis, dengan sambutan yang positif, pihaknya bakal terus mengembangkan layanan tersebut di kota-kota besar lainnya.

Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, inovasi dan ekspansi bisnis yang masih dilakukan bisnis ritel di tengah pandemi merupakan sinyal kepercayaan diri dunia usaha. Menurutnya, pelaku usaha tak akan serta-merta mengambil langkah signifikan tanpa dibekali dengan potensi permintaan dan peluang.

Dari segi dampak ekonomi, dia tak memungkiri langkah tersebut dapat menjadi daya dongkrak. Kendati demikian, dia memperingatkan soal potensi terganggunya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan konsep serupa.

“Yang perlu diperhatikan adalah keadilan dalam persaingan usaha yang sehat karena di Indonesia semua usaha memiliki hak untuk hidup. Dengan ekspansi bisnis ritel ini, secara langsung maupun tidak langsung ada UMKM dengan konsep serupa yang terganggu karena peluangnya direbut pula dengan bisnis ritel yang besar. Padahal mereka sudah kesulitan di tengah pandemi,” ujarnya.

Enny mengemukakan, kehadiran pemerintah dengan kebijakan afirmasi menjadi penting dalam situasi ini. Pemerintah juga berperan dalam mengolaborasikan antara perusahaan besar dan UMKM.

Pada akhirnya, pelaku bisnis ritel tetap dituntut dapat berinovasi tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian di tengah pandemi Covid-19.

Sebelumnya, Bank Indonesia memproyeksikan bahwa kinerja penjualan ritel pada Mei bakal turun lebih dalam dibandingkan April 2020. Indeks penjualan ritel pada periode tersebut ditaksir berada di angka 192,5 atau turun 22,2% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan dengan April 2020 yang terjun 16,9%.

Namun, tak ada yang pernah tahu kondisi di lapangan pada masa mendatang. Bukan tak mungkin inovasi ini justru menarik minat konsumen dan kian memperuncing kompetisi raksasa kelontong di Tanah Air, sekaligus menggerus pemain kecil di sekitar mereka.

sumber: today.line.me